Abstrak Kreativitas karya budaya melalui lagu dalam sejarah Indonesia semenjak dahulu hingga kini ternyata sangat efektif menjadi alat komunikasi perubahan sosial dan politik. Di zaman dahulu dalam tradisi budaya Jawa ada yang disebut tembang atau lagu yang dipakai sebagai sarana komunikasi untuk memberikan arah petunjuk bagi perubahan tersebut. Tembang atau lagu ternyata menjadi alat menghela pesan kesadaran publik atas berbagai persoalan yang terjadi. Kajian atas sarana komunikasi melalui lagu itu ternyata dapat menjadi penanda atas perubahan sosial politik yang menandai sebuah era zaman. Dalam tulisan ini membahas soal perubahan komunikasi sebuah lagu di era menjelang kemerdekaan Indonesia atau era modern Nusantara. Lagu rakyat Banyuwangi yang dikenal dengan nama Genjer-genjerâ yang pada awal pembuatannya di zaman Jepang hanya sebatas berfungsi lagu hiburan semata, namun pada suatu waktu dalam sebuah arus zaman bisa berubah menjadi lagu yang sangat kental dengan pesan sebuah ideologi dan politik. Bahkan, lagu rakyat yang memakai syair bahasa daerah Jawa dengan dialek Banyuwangi ini, nantinya berubah dan dianggap sebagai alat propaganda yang efektif sebuah kekuasaan politik yang bersifat nasional bahkan internasional. Di masa kini lagu Genjer-genjer semakin menarik karena telah dinyanyikan oleh orang asing dengan memakai bahasa asing atau melepaskan syair aslinya. Akibatnya lagu ini yang dahulu begitu popular, kemudian dalam beberapa puluh tahun saat terjadinya perubahan rezim menjadi terlarang dan menghilang dari telinga publik, kini mulai dikenal dan terdengar semarak kembali. Adanya kenyataan tersebut, maka melalui kajian ini, publik kemudian menjadi memahami kembali arti dan nilai pentingnya sarana komunikasi dari karya budaya melalui sebuah lagu pada umumnya, serta lagu Genjer-genjerâ pada khususnya. Sebuah lagu ternyata bisa sangat efektif menjadi sarana komunikasi. Lagu ternyata tak bermata tunggal, yakni hanya hiburan dan pelepas ekpresi pribadi belaka. Lagu punya banyak fungsi dan wajah. Abstract The creativity of artistic works through songs in Indonesian history from the past until now has become very effective as a communication tool for social and political change. In ancient times in the Javanese cultural tradition, a so-called tembang or song was used as a means of communication to provide directions for these changes. Tembang or song turned out to be a tool to convey a message of public awareness of the various problems that occurred. The study of the means of communication through the song became a marker for the socio-political changes that marked an era. This paper discusses the difference in the transmission of a song in the period leading up to the independence of Indonesia or the modern era of the archipelago. The Banyuwangi folk song known as 'Genjer-genjer' which at the beginning of its creation in the Japanese era was only limited to functioning as an entertainment song, but at one time in a period, it could turn into a song that was very thick with the message of an ideology and politics. This folk song, which uses Javanese rhymes with the Banyuwangi dialect, will later change and be considered an effective propaganda tool for a political power that is national and even international. Nowadays, the song Genjer-genjer is more interesting because it has been sung by foreigners using a foreign language or releasing the original lyrics. As a result, this song, which used to be so popular, then in a few decades when the regime change took place, became banned and disappeared from the public's ear, is now starting to be known and sounds lively again. With this fact, through this study, the public will then understand the meaning and value of the importance of means of communication from cultural works through a song in general, and the song 'Genjer-genjer' in particular. A song can be very effective as a means of communication. The song does not have a single eye, that is, it is only entertainment and a mere release of personal expression. Songs have many functions and faces. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 290 TRANSFORMASI KOMUNIKASI LAGU GENJER-GENJER DARI LAGU POPULER KE POLITIK Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta Kata Kunci Komunikasi Budaya Lagu Tradisi Kreativitas karya budaya melalui lagu dalam sejarah Indonesia semenjak dahulu hingga kini ternyata sangat efektif menjadi alat komunikasi perubahan sosial dan politik. Di zaman dahulu dalam tradisi budaya Jawa ada yang disebut tembang atau lagu yang dipakai sebagai sarana komunikasi untuk memberikan arah petunjuk bagi perubahan tersebut. Tembang atau lagu ternyata menjadi alat menghela pesan kesadaran publik atas berbagai persoalan yang terjadi. Kajian atas sarana komunikasi melalui lagu itu ternyata dapat menjadi penanda atas perubahan sosial politik yang menandai sebuah era zaman. Dalam tulisan ini membahas soal perubahan komunikasi sebuah lagu di era menjelang kemerdekaan Indonesia atau era modern Nusantara. Lagu rakyat Banyuwangi yang dikenal dengan nama Genjer-genjerâ yang pada awal pembuatannya di zaman Jepang hanya sebatas berfungsi lagu hiburan semata, namun pada suatu waktu dalam sebuah arus zaman bisa berubah menjadi lagu yang sangat kental dengan pesan sebuah ideologi dan politik. Bahkan, lagu rakyat yang memakai syair bahasa daerah Jawa dengan dialek Banyuwangi ini, nantinya berubah dan dianggap sebagai alat propaganda yang efektif sebuah kekuasaan politik yang bersifat nasional bahkan internasional. Di masa kini lagu Genjer-genjer semakin menarik karena telah dinyanyikan oleh orang asing dengan memakai bahasa asing atau melepaskan syair aslinya. Akibatnya lagu ini yang dahulu begitu popular, kemudian dalam beberapa puluh tahun saat terjadinya perubahan rezim menjadi terlarang dan menghilang dari telinga publik, kini mulai dikenal dan terdengar semarak kembali. Adanya kenyataan tersebut, maka melalui kajian ini, publik kemudian menjadi memahami kembali arti dan nilai pentingnya sarana komunikasi dari karya budaya melalui sebuah lagu pada umumnya, serta lagu Genjer-genjerâ pada khususnya. Sebuah lagu ternyata bisa sangat efektif menjadi sarana komunikasi. Lagu ternyata tak bermata tunggal, yakni hanya hiburan dan pelepas ekpresi pribadi belaka. Lagu punya banyak fungsi dan wajah. Keywords Communication Culture Song Tradition The creativity of artistic works through songs in Indonesian history from the past until now has become very effective as a communication tool for social and political change. In ancient times in the Javanese cultural tradition, a so-called tembang or song was used as a means of communication to provide directions for these changes. Tembang or song turned out to be a tool to convey a message of public awareness of the various problems that occurred. The study of the means of communication through the song became a marker for the socio-political changes that marked an era. This paper discusses the difference in the transmission of a song in the period leading up to the independence of Indonesia or the modern era of the archipelago. The Banyuwangi folk song known as 'Genjer-genjer' which at the beginning of its creation in the Japanese era was only limited to functioning as an entertainment song, but at one time in a period, it could turn into a song that was very thick with the message of an ideology and politics. This folk song, which uses Javanese rhymes with the Banyuwangi dialect, will later change and be considered an effective propaganda tool for a political power that is national and even international. Nowadays, the song ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 291 Genjer-genjer is more interesting because it has been sung by foreigners using a foreign language or releasing the original lyrics. As a result, this song, which used to be so popular, then in a few decades when the regime change took place, became banned and disappeared from the public's ear, is now starting to be known and sounds lively again. With this fact, through this study, the public will then understand the meaning and value of the importance of means of communication from cultural works through a song in general, and the song 'Genjer-genjer' in particular. A song can be very effective as a means of communication. The song does not have a single eye, that is, it is only entertainment and a mere release of personal expression. Songs have many functions and faces. 1. PENDAHULUAN Mengapa perubahan lagu Genjer-genjer dari lagu rakyat menjadi lagu politik menarik atau perlu diteliti? Setidaknya ada dua jawaban yang penting. Pertama dari sisi intrinsik, yakni dari segi isi pesan yang terkandung di dalamnya, lagu Genjer-genjer tampak sekali hanya merupakan lagu rakyat biasa atau dapat disebut sekedar luapan ekspresi murni suara batin dari kehidupan keseharian si penulis lagu semata. Lagu ini tidak punya pretensi politik-ideologi, atau bermaksud menciptakan sebuah sosok pahlawan baruâ. Ini berbeda sekali dengan lagu yang dibuat sezamannya, misalnya lagu Ibu Kita Kartiniâ karya WR Supratman oleh elite pergerakan nasional kala itu dimaksudkan sebagai sarana untuk membuat seorang pahlawan perempuan dalam rangka menyambut hadirnya masa kemerdekaan. Demikian juga lagu karya WR Supratman yang lain, Di Timur Matahariâ yang dijadikan cermin semangat zaman atas kebangkitan harga diri bangsa Asia terhadap orang Eropa setelah kejadian kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 di Manchuria. Jepang sudah mulai dibincangkan akan menjadi tandingan Eropa/Belanda di Indonesia Kedua, dari sisi ekstrinsik, yakni suasana yang berada di luar lagu itu, ternyata oleh sebuah kekuatan politik lagu ini dapat diberi interpretasi lain, yakni sebagai sebuah cara tepat untuk menyampaikan pesan mengenai ajaran ideologi kepada masa rakyat. Politik ternyata bisa merubah segalanya, dari lagu yang sebenarnya hanya biasa saja, kemudian berubah menjadi lagu sangat istimewaâ. Maka lagu Genjer-genjer substansinya pun meluas, bahkan hingga melintasi zaman dan batas-batas teritorial karena pada masa sekarang sudah diterjemahkan serta dinyanyikan berbagai orang dengan memakai bahasa asing. Pada masa sekarang ini, pemaknaan nilai dari lagu tersebut menjadi kian strategis dikaji, terutama terkait dengan isu ideologi komunis yang sampai hari ini masih menjadi perbincangan publik di Indonesia dengan sangat intens. Keberadaan lagu Genjer-genjer setidaknya menolong generasi milenalâ untuk memahami gejolak sejarah sekaligus mengambil hikmah mengenai apa yang terjadi di bangsanya pada masa lampau. Penelitian ini diberi judul âTransformasi Komunikasi Lagu Genjer-Genjer dari Lagu Populer ke Politikâ ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 292 2. KAJIAN LITERATUR Mengacu kamus besar bahasa Indonesia KBBI, arti kata transformasiâ adalah sebuah kata nomina kata benda yang mempunyai beberapa pengertian, yakni 1. Perubahan rupa bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya. 2 perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya dalam kajian Bahasa/linguistik. Istilah komunikasi, menurut Onong Uchjana Effendy 2018 adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Latin communication dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Hovland, Janis, & Kelley, seperti dikutip oleh Changara 2016 mendefinisikan komunikasi sebagai sebuah proses di mana seorang individu komunikator mengirimkan stimulus untuk mengubah perilaku individu lainnya audiens. Pakar lain, Dedi Mulyana 2017 mendefinisikan komunikasi sebagai proses kegiatan yang ditandai tindakan, perubahan, pertukaran, dan perpindahan, serta terdapat kontinuitas dari setiap unsurnya. Selanjutnya ideologi menurut KBBI adalah 1 kata benda yang merupakan kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat kejadian yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, 2 cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Atau juga dalam pengertian politik, ideologi berarti 1. sistem kepercayaan yang menerangkan dan membenarkan suatu tataan politik yang ada atau yang dicita-citakan dan memberikan strategi berupa prosedur, rancangan, instruksi, serta program untuk mencapainya; 2 himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politik. Politik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI adalah 1 pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan.2 segala urusan dan tindakan kebijakan, siasat, dan sebagainya mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, 3, cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah; kebijaksanaan. Emzir, 2010 Lagu pop popular adalah lagu yang dikenal dalam masyarakat luas menjadi alat hiburan. Sifatnya lagunya sederhana. Lagu ini hidup dalam suasana keseharian publik. Dinyanyikan dalam masyarakat secara luas. Noer, 3. METODOLOGI PENELITAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni suatu penelitian yang berupaya mendeskripsikan secara terperinci suatu realitas sosial Suradika, 2000. Pendekatannya kualitatif dengan menggunakan metode fenomenologi yang mementingkan penghayatan dan pengertian dalam menangkap gejala Suradika & Wicaksono, 2019. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap para saksi sejarah serta pelaku kreatif yang terlibat langsung menggunakan karya kreatif lagu ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 293 Genjer-genjer menjadi komoditi pesan politik. Selain itu melakukan kajian pustaka atau literatur yang terkait dengan obyek kajian tersebut. Data dianalisis dengan menggunakan model Miles dan Huberman seperti dikutip oleh Emzir 2010, yaitu mereduksi data, menyajikan data, menyimpulkan dan memverifikasi. 4. PEMBAHASAN Dalam khazanah kreativitas karya budaya melalui lagu, sejarah Indonesia semenjak dahulu hingga kini ternyata sangat efektif menjadi alat komunikasi perubahan sosial dan politik. Di zaman dahulu dalam tradisi budaya Jawa ada yang disebut tembang atau lagu yang dipakai sebagai sarana komunikasi untuk memberikan arah petunjuk bagi perubahan tersebut. Bahkan sepanjang kurun tersebut, tembangâ, kidungâ, atau lagu ternyata telah terbukti menjadi alat menghela pesan kesadaran publik atas berbagai persoalan yang terjadi. Sarana komunikasi melalui lagu itu ternyata dapat menjadi penanda atas perubahan sosial politik yang menandai sebuah era zaman. Tembang Jawa, seperti dinyatakan peneliti Islam di Jawa, 2013, bahkan dapat disebut sebagai sarana komunikasi dua budaya yakni antara tradisi Islami dan tradisi kerajaan Jawa. Semasa dakwah Islam yang dilakukan ulama, khususnya para wali di Jawa misalnya, lagu secara nyata dipakai sarana untuk memberi banyak pesan, baik itu pesan tentang ajaran agama dakwah, sosial, bahkan politik. Keberadaan dua orang wali dari apa yang disebut sebagai bagian dari wali sangaâ, yakni Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga hidup sekitar tahun 1450 memakai lagu sebagai sarana menyebarkan pemahaman atas ajaran agama Islam. Dua orang wali yang dikenal sebagai guru dan murid yang paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" - bukan sufi panteistis pemujaan semata, memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Lebih dari itu, kemudian sosok dan karya Sunan Kalijaga malah mengilhami dan menjadi petunjuk penting bagi kekuasaan raja-raja di dinasti Mataram Islam, yang berpusat di Jawa Tengah bagian selatan sekitar Solo dan Yogyakarta. Salah satu karyanya terjebak dalam sebuah bentuk lagu yang dibuat oleh raja terbesar dinasti Mataram yang dikenal dengan nama Sultan Agung Hanyokrokusumo Supajar, Hal itu dikatakan secara khusus oleh Ki Hajar Dewantoro saat menerima gelar Doktor HC dalam ilmu kebudayaan oleh Senat Universitas Gajah Mada pada tanggal 19 Desember 1956. Beliau mencuplikkan sebuah tembang yang merupakan gubahan lebih lanjut lagu Jawa dalam era penyebaran Islam karya Sultan Agung yang berbentuk Sinomâ. âŠ..Pramila gending yen bubrah/ Gugur sembahe mring Widhi/ Batal wisesaing salat/ Tanpa gawe ulah gending/ Dene ngran tembang gending/ Amuji asmaning dat/ Swara saking osik wadi/ Osik mulya wentaring/ Ciota surosa âŠMaka gending rusak apabila/ Rusak pula peribadatan kepada Tuhan/ Batal kekhidmatan sembahyang/ Tanpa guna ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 294 melakukan gending/ Adapun temang gending itu/ Melantunkan nada yang syahdu/ Memuji nama Tuhan/ Nada yang lahir dan rahasia jiwa/ Gelar keagungan yang menggemakan/ Hasrat tertinggi manusia Tak beda dengan Sultan Agung Hanyokrokusumo, pada generasi raja Mataram berikutnya pun banyak karya tembang Jawanya yang kini menjadi abadi. Bahkan tembang ini kemudian hadir dalam lagu popular di era industri musik modern Indonesia melalui ikon artis era 1980-an, Gombloh. Penyanyi asal Jombang ini semasa hidupnya sempat merekam dan menyanyikan syair tembang karya Mangkunegara VII, yakni Wedhatamaâ, yang terkenal sangat filosofis serta menjadi acuan hidup orang Jawa. Saat itu anak-anak muda kini lagu tersebut bisa dinikmati di Youtube bisa merasakan emosi atau ekstase jiwa hasil balutan aransemen syair klasik lagu Jawa dengan musik blues. Frase tanpa arti khas Jawa Hong Wilahengâ yang disebut berulang-ulang pada lagu tersebut kemudian dijadikan sebagai judul lagu. Florida, 2020. Mingkar mingkur ing angkara/ Akarane karenan mardi siwi/Sinawung resmining kidung/Sinuba sinukarta/Mrih kerta prakartaning ngelmu/luhung/Kang tumrap neng tanah Jawa/Agama ageming aji Menghindar dari godaan hawa nafsu/ Karena senang mendidik anak muda/ Digubahlah sebuah kidung nan indah/ Ditata dengan hiasan penuh/ Agar dijalankan secara sempurna/ ilmu luhur/ Yang di tanah Jawa merupakan/ Agamanya para penguasa Gisca, 2021 Dua karya tersebut yang dibuat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dan kemudian Mangkunegara VII itu jelas diilhami oleh karya kreatif dari dua orang wali, yakni Sunan Bonang dan Sunan Giri yang mengubah lagu dari gaya yang ada dalam manuskrip Jawa kuno yang klasik menjadi lagu baru yang lebih popular saat itu, yang kemudian pada generasi berikutnya di kenal sebagai tembang Macapatâ. Lagu lain karya Sunan Bonang yang sangat popular dan bahkan kemudian menjadi dikenal sebagai lagunya orang Jawa adalah Padang Bulan' dan 'Cublak-cublak Suweng' yang sebenarnya adalah lagu untuk dakwah atau menyebarkan sebuah ajaran hidup ke masyarakat. TINJAUAN LAGU GENJER-GENJER Munculnya lagu Genjer-genjer juga tak bisa lepas dari suasana kehidupan sosial dan budaya rakyat pada zaman itu. Penulis lagu ini adalah seniman asal Banyuwangi, Jawa Timur, yang bernama Muhammad Arief. Tempo, 2013. Lagu ini ditulis dengan diilhami atau berlatar suasana pendudukan Jepang di Hindia Belanda Indonesia yakni pada kurun tahun 1942-1945. Syairnya menceritakan tentang kehidupan rakyat yang melarat, makan pas-pasan dengan mengonsumsi bahan pangan seadanya, dan bahkan berani mengonsumsi tumbuhan yang oleh lazim tumbuh di rawa dan persawahan yang kerap dianggap sebagai gulma, yakni daun genjer limnocharis flava. Tanaman ini ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 295 sebelum era zaman Jepang ini digunakan rakyat sebagai makanan ternak. Muhammad Arif menuliskan suasana ini dalam bentuk syair lagu dolananâ lagu permainan/hiburan sehari-hari rakyat. Syair lagu Genjer-genjer adalah seperti ini, dikutip dari dan juga hasil mencocokkan kebenaran dengan mendengarkan kembali rekaman lagu yang kini tersebar di Youtube Genjer-genjer nang kledhokan pating keleler/ Genjer-genjer nang kledhokan pating keleler/ Emake thole teka-teka mbubuti genjer/ Emake thole teka-teka mbubuti genjer/ Oleh sak tenong mungkur sedot sing tole-tole//Genjer-genjer saiki wis digowo mulih/ Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar/ Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar/ Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar/ Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar/ Emake jebeng pada tuku gawa walasan/ Genjer-genjer saiki wis arep diolah Genjer-genjer mlebu kendhil walang gemulak/ Genjer-genjer lebu kendhil walang gemulak/ Setengah mateng dientas wong dienggo iwak/ Setengah mateng dientas wong dienggo iwak/ Sega rong piring sambel jeruk dipeloco/ Genjer-genjer saiki wis arep dipangan Genjer-genjer di pematang sawah berhamburan/ Genjer-genjer di pematang sawah berhamburan/ Ibunya anak datang-datang mencabut genjer/ Ibunya anak datang-datang mencabut genjer/ Dapat satu bakul lalu bergegas pergi dapat yang kecil-kecil/ Genjer-Genjer sekarang sudah dibawa pulang/ Genjer-Genjer pagi-pagi dijual di pasar/ Genjer-genjer pagi-pagi dijual di pasar/ Dipasang berjejer ditali ditaruh di bawah/ Dipasang berjejer ditali ditaruh di bawah/ Ibunya jebing membeli membawa tongkat pikulan bambu/ Genjer-genjer sekarang sudah siap diolah/ Genjer-genjer masuk dalam kendil air mendidih/ Genjer-Genjer masuk dalam kendil air mendidih/ Setengah matang diangkat ingin dijadikan lauk/ Setengah matang diangkat ingin dijadikan lauk/ Nasi dua piring sambal jeruk dicampur/ Genjer-genjer sekaraang sudah siap Gisca, 2021. Selain syairnya yang jenaka dan ringan yang menggambarkan pahitnya kehidupan rakyat Banyuwangi, lagu Genjer-genjer yang memakai syair bahasa Jawa dengan dialek Banyuwangi Osing itu juga dikebal makin meluas melalui munculnya alat komunikasi radio yang pada tahun 1896, ditemukan seorang ilmuwan Italia, Guglielmo Marconi. Adanya sarana komunikasi publik saat itu, yakni pada tahun 1942-an masa awal pemerintahan kolonial Jepang di Indonesia sudah meluas. Bahkan, kala itu pemerintah pendudukan melakukan razia kepemilikan radio. Hanya orang tertentu saja, yakni aparat keamanan Jepang dan orang tertentu yang ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 296 boleh mendengarkannya. Alhasil, pengenalan publik atas lagu ini bergerak dari mulut ke mulut dan dari panggung ke panggung pertunjukan kesenian rakyat. Pada saat yang sama, yakni pada kurun 1940-an Prisma, 1987, dalam catatan sejarah musik Indonesia, selain lagu rakyat yang hidup di kalangan rakyat di daerah, pada masa itu ditingkat nasional ada tiga ragam musik yang popular, yakni keroncong, gambus, dan musik Hawaian, di tambah musik klasik dan semi klasik dari orkestra yang disukai orang Belanda dan kalangan elite bumiputra. Keroncong adalah perpaduan pengaruh musik dari Barat dan Timur dengan peralatan yang kebanyakan berupa instrumen dawai, adalah jenis melayani selera kelas menengah dan lapisan bawah. Gambus, cikal bakal dangdut, merupakan musik pencampuran Parsi, Arab, dan Melayu untuk kegemaran pemeluk Islam. Musik Hawaian adalah musik pilihan masyarakat kelas atasâ. Masa pendudukan Jepang yang disebut periode perjuangan merebut kemerdekaan mendorong timbulnya lagu-lagu bernafaskan kebangsaan yang bersemangat, penuh dengan idealisme, seperti lagu Selendang Sutra, Halo-Halo Bandungâ. Kala itu radio sebagai media yang popular dan juga yang pertama-tama menempati kedudukan penting dalam masa penjajahan Jepang membangun kalangan pendengar lagu-lagu ini. Prisma, 1987 Selanjutnya, setelah lepas dari penjajahan Jepang dan datangnya masa kemerdekaan, secara perlahan musik Indonesia bangkit. Situasi ini semakin semarak setelah lepas dari kurun lima tahun pertama masa kemerdekaan. Maka, sejak periode 1950-an khazanah musik Indonesia mulai memperlihatkan bangkitnya musik hiburan entertaiment music. Lagu-lagu dari kalangan rakyat mulai masuk rekaman dan disebarkan secara luas oleh sarana komunikasi yang ada di saat itu, yakni radio dan lebih secara bebas dan terbuka muncul dipanggung-panggung pertunjukan. Kekhawatiran sensor dan pelarangan yang terjadi pada jaman kolonial Jepang tidak ada lagi. Memasuki kurun tahun 1950-an, kala itu ada peristiwa politik penting, yakni Pemilu 1955 yang dilangsungkan pada bulan September dan Desember. Pemilu ini disebut oleh pengamat politik Herbeth Feith sebagai suatu eksperimen demokrasi. Kedua ajang pemilihan umum itu adalah yang pertama kali dilaksanakan secara nasional di Indonesia, menyusul sedikit pengalaman dengan pemilihan secara nasional dan kota praja, atau pemilihan anggota Volksraad Dewan Rakyat sebelum perang dunia II, yang diselenggarakan dengan pemilih yang sangat terbatas, hampir tidak memberikan pengalaman demokrasi. Feith, 1999. Pada pemilu saat itu musik pun menjadi bagian dari kampanye dan kegiatan politik untuk mengumpulkan masa. Kenyataan ini dikatakan oleh saksi sejarah era itu, yakni politisi senior dan sejarawan, Ridwan Saidi. Dia menceritakan suasana pementasan musik yang digunakan di ajang Pemilu 1955 sebagai berikut ...Pada saat ajang Pemilu 1955 saat itu usia saya 13 tahun. Saya menonton dan melihat ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 297 kesemarakan hiburan dan pidato politik yang ada di panggung-panggung kampanye partai di Jakarta. Lagu hiburan terdengar dimainkan. Di panggung kampanya Partai Nasional Indonesia diperdengarkan sajian musik keroncong. Di panggung kampanye Partai Masyumi meski tak ada sajian musik secara langsung, tapi di panggung kampanyenya selalu diputar piringan hitam berisi lagu-lagu Melayu. Uniknya di panggung Partai Komunis disajikan pertunjukan musik gambus secara life. Maka lagu-lagu berbahasa Arab yang lazim dalam lagu Gambus menjadi ciri kampanye partai itu di Jakarta. Saya sendiri pernah kecele. Pada suatu hari di mana saya lagi mencoba mencari hiburan musik bersama teman, dari jauh saya dengar suara lagi Gambus dan saya yakin itu panggung kampanye Partai Masyumi. Maka saya pun pergi ke arah sumber suara itu. Namun sampai di sana saya benar-benar terkejut. Dari bawah panggung sembari menyaksikan aksi penyanyi dan aksi pemain orkes gambus memainkan instrument musik, di belakang mereka terpampang gambar dan tulisan Partai Komunis Indonesia berserta lambing palu-aritnya. Jadi PKI itu di dalam kampanye memakai simbol Arab yang dikalangan publik saat itu identik dengan Islam. Ini beda dengan jargon partainya yang mengatakan anti agama Saidi, 2021. Ridwan lebih jauh mengatakan, pada saat itu sosok lagu Genjer-Genjerâ sama sekali belum terdengar. Publik pun tidak tahu. Maka dia pun langsung membantah adanya penulisan bila lagu itu sudah ditulis Muhammad Arif dari Banyuwangi di zaman Jepang, yakni pada tahun 1942. Saya tidak percaya klaim lagu di buat 1942. Itu ditua-tuainâ. Buktinya di Pemilu 1955 lagu itu tidak terdengar. Lagu itu baru terdengar di dekade awal tahun 1963-an dan memuncak kepopulerannya ketika diperdengarkan pada ajang ulang tahun PKI ke 50, pada 23 Mei 1963 di Istora, Senayan, Jakarta. Sepanjang dekade 50-an lagu itu tak dikenal publik. Saya tanya mana buktinya lagu itu dibuat di tahun itu. Kalau di klaim lagu dibuat dan kemudian diperdengarkan di jalan-jalan melalui pertunjukan hiburan rakyat dari panggung ke panggung di jalanan, menurut saya juga tak masuk akal. Ini karena pemerintah Jepang saat itu sangat represif melarang pertunjukan hiburan rakyat. Lagi pula, logikanya, kapan persisnya bukti otentik pembuat lagu itu lahir? Saidi, 2021. ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 298 Pernyataan Ridwan Saidi, sejalan dengan kesaksian sastrawan anggota Manifes Kebudayaan Manikebu yang menjadi musuh PKI. Taufiq Ismail dalam wawancara mengatakan âŠ.Lagu Genjer-genjer mulai terdengar pada awal dekade 1960-an. Sebelum itu tidak terdengar. Lagu itu menjadi semakin terkenal saat ajang ulang tahun PKI ke-50 yang digelar di stadion Senayan, Jakarta. Mulai saat itu menjadi sangat terkenal. Banyak penyanyi top yang menyanyikan dan merekamnya dalam piringan hitam yang dijual bebas. Tapi lagu itu mendadak menghilang setelah terjadinya Pemberontakan PKI 1965. Bahkan setelah itu rakyat ketakutan menyanyikannya karena akan ditangkap dan dituduh pro komunis. Ismail, GENJER-GENJER BERUBAH JADI LAGU POLITIK-IDEOLOGIS Bila ditelusuri transformasi lagu Genjer-genjer dari lagu hiburan menjadi lagu politik-ideologis itu mulai terjadi pada dekade 1960. Latar belakang transformasi lagu ini dari lagu hiburan tradisional menjadi lagu beridentitas politik-ideologis adalah suasana politik nasional kenegaraan yang memanas seiring dibubarkannya Partai Masyumi dan Partai Sosilias Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1960. Kedua partai ini Masyumi adalah partai berada dalam urutan kedua pemenang Pemilu 1955 dibubarkan oleh Presiden Soekarno atas pertimbangan Mahkamah Agung melalui Keputusan Presiden Keppres No. 201 tahun 1960 mengacu pada Penetapan Presiden No. 7/1959. Dalam sejarah politik Indonesia, setelah Partai Masyumi dan PSI dibubarkan, maka kini PKI sebagai pemenang keempat Pemilu 1955 benar-benar bisa menjadi semakin eksis. Persaingan panasnya dengan Partai Masyumi sebagai menang ketiga pemilu itu, tidak lagi menjadi penghalangnya dalam pemerintahan. PKI menjadi salah satu pilar ideologi politik penguasa saat itu, yakni Nasakom nasionalisme, agama, dan komunis. PKI adalah wakil kelompok komunis bersama wakil golongan agama, Nahdlatul Ulama NU. Pada saat yang sama Undang-Undang Pokok Agraria, yakni UU No 5 tahun 1960 disahkan. Isi undang-undang ini sejalan dengan konsep yang diinginkan oleh PKI yakni soal adanya pembagian tanah kepada rakyat melalui landreformâ. Maka lazimnya sebuah partai yang mengklaim memperjuangkan nasib rakyat kecil melalui teori pertentangan kelas, maka adanya peraturan hukum landreform disebut orang awam sebagai bagi-bagi tanah ke rakyat sangat sejalan dengan ideologinya. Maka sejak saat itu PKI makin gencar memberikan dukungan kepada segala hal yang berbau pembelaan rakyat. Salah satunya adalah melalui jalur kebudayaan dan kesenian sebagai jalur pembentukan kesadaran politik kaum tani yang ada di desa dan kaum buruh yang ada di perkotaanâ. Semangat PKI membela rakyat dengan membangun kesadaran politik itu terjejak dalam buku karya DN Aidit, yang bertajuk Kaum Tani Mengganjak Setan-Setan desaâ ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 299 Aidit, 1964. Dalam tulisannya Aidit secara jelas menyatakan bila kebudayaan sebagai alat perjuangan kesadaran kelasâ rakyat âŠKehidupan kebudayaan moralâŠ. tidak lepas dari pengaruh perpaduan sistim feudal dan imperialis serta masuknja kapitalisme⊠Kebudayaan neo-kolonilisme menyusuk ke desa dalam bentuk madjalah-madjalah hiburan jang banjak terbit di kota-kota, music ngak-ngik-ngok serta irama India dan Malaja lewat transistor-transistor, pickup pick up mobil, maupun orkes-orkes jang dibajai oleh sementara tuantanah, tanikaja, lapisan atas, Kabir kapitalis birokrat, dan penguasa-penguasa djahat, jang digunakan sebagai hiburan para tamu dan pesta-pesta chitanan, perkawinan, dan kesempatan-kesempatan lain. Pendukung-pendukung pokok dan kebudajaan neo-kolonialis jaitu kaum Kabir, koruptor dan kaum komprador pada umumnya bertempat tinggal menetap di kota, sehingga desa belum mengenal malam-malam dansa-dansi, seperti malam-malam twist dan lain-lain. Aidit, 1964. Semangat membela rakyat itu sejalan dengan garis kebijakan penguasa rezim, Presiden Soekarno. Kala itu dia juga memberikan kebijakan agar rakyat Indonesia anti budaya asing atau mandiri dalam kebudayaan. Dia mengecam masuknya music pop barat yang kala itu menguasai musik pop dunia, seiring dengan melambungnya grup music Inggris The Beatlesâ. Dia menyebut musik pop barat yang tengah digandrungi dunia sebagai musik yang remeh atau tak berharga perusak budaya bangsa. Musik ngak-ngik-ngok.â Bila dilihat dari catatan sejarah istilah musik Ngak Ngik Ngok mulai dikenal tahun 1963. Saat itu, pemerintah menerbitkan Penetapan Presiden PP Nomor 11 Tahun 1963 tentang Larangan Musik Ngak Ngik Ngok. Penerbitan itu kemudian jadi legitimasi dari gerakan pemerintah memberangus musik-musik yang dianggap berpotensi merusak budaya bangsa. Musik barat sendiri mulai masuk ke Indonesia pada dekade 50-an. Otto Werner dalam The Origin and Development 1994 menjelaskan, pada tahun 1950-an, Elvis Presley dan Bill Haley and The Comet jadi pionir yang membangun pamor musik rock n roll. Ucapan Sukarno yang terkenal soal anti musik barat karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dikatakannya dalam pidato di depan masa Korps Gerakan Mahasiswa Indonesia di Jakarta, pada 17 Agustus 1965. "Jangan seperti kawan-kawanmu, Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu Indonesia, kenapa mesti Elvis-Elvisan?" ujar Proklamator Sukarno. Adanya semangat politik zaman dengan klaim membela rakyatâ yang terjadi di sepanjang dekade awal itulah yang menjadi lahan subur tumbuh dan populernya lagu Genjer-genjer dibandingkan dengan era sebelumnya. ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 300 Bila ditelisik lagi transformasi lagu ini dari lagu hiburan menjadi lagu ideologi-politik bermula dari kebijakan politik salah satu petinggi PKI, yakni Njoto. Berkat Njoto lagu yang meminjam melodi dari lagu dolanan Tong Ala Gentakâ ini kemudian diidentikkan dengan PKI.ââLagu Genjer-genjer, Lagu rakyat yang diangkat oleh Njoto itu sangat penting,ââ kata sejarawan Asvi Warman Adam Aidit, 1964. Syahdan pada 1963, Njoto, seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat yang juga tokoh PKI, terpikat mendengar Genjer-genjer ketika singgah di Banyuwangi dalam perjalanan ke Bali. Tak lama kemudian, lagu sederhana itu mencapai popularitas yang mencengangkan, sering di putar di RRI dan ditayangkan di TVRI. Bahkan, di bawah label Irama Record, para penyanyi kondang era itu, Lilis Suryani dan Bing Slamet. Merekam lagu itu pada 1965 dalam bentuk album piringan hitam kompilasi Mari Bersuka Riaâ. Adanya album rekaman inilah yang melambungkan nama penggubahnya Muhammad Arif ke puncak popularitas. Bahkan dia yang sudah menjadi anggota Lekra sejak tahun 1950-an mendapat banyak order pesanan penulisan lagu hingga kemudian menjadi anggota legislatif di wilayahnya dari perwakilan seniman. Saksi sejarah lain yang kini menjadi penyair sufi dan Guru Besar Ilmu Kebudayaan Islam, Abdul Hadi WM, juga membenarkan bila pada tahun-tahun itu popularitas lagu Genjer-genjer mencapai puncak. Katanya Di mana-mana orang ramai menyanyikannya. Di radio, televisi, dan piringan hitam lagu itu biasa didengarkan khalayak. Juga dalam rapat-rapat PKI juga terdengar. Lagu itu ada di mana-mana. Menyeruak ke mana-manaâŠBerbagai WM, Sebagai konsekuensi bahwa lagu dilambungkan dan digubah oleh tokoh PKI â bahkan lazim dinyanyikan dalam acara rapat partai- lagu Genjer-genjer bertransformasi atau merubah diri dari lagu hiburan popular menjadi lagu politik-ideologis. Lagu itu bersandingkan dengan lagu partai yang kala itu popular, yakni lagu Hymne PKI, Nasakom Bersatu, Darah Rakyat, dan lagu sejenis lainnya. Namun, nasib dan identitas lagu ini kemudian berbalik drastis usai pecahnya pemberontakan PKI pada 1 Oktober 1965 atau terjadinya aksi G30S/PKI. Tak hanya langsung menghilang dari pendengaran telinga dan nyanyian di mulut-mulut rakyat, lagu yang pada saat itu begitu popular berubah menjadi lagu terlarang. Kala itu pertunjukan budaya -mulai lagu hingga teater tradisional yang digagas anggota dan simpatisan PKI seperti adanya ketoprak dengan lakon Matine Gusti Allahâ Terbunuhnya Tuhanâlenyap seperti ditelan bumi Taufik Ismail, 2015. Mereka kalau nekat menonton atau menggelar pentas ketoprak teater rakyat di Jawa tersebut atau berani menyanyikan lagu Genjer-genjer secara terbuka, dapat terancam ditangkap pihak aparat keamanan karena dianggap menjadi anggota âsetidaknya simpatisan- Partai Komunis Indonesia yang kala itu telah dibubarkan. Melalui keputusan TAP MPRS No XXV tahun 1966 menyatakan segala ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 301 pemikiran yang mengandung ajaran Marxisme Komunisme terlarang disebarluaskan Ismail, 2015. Tak hanya itu, usai tragedi tersebut nasib sang pengubah lagi, Muhammad Arif, pun berakhir tragis. Dia ditangkap aparat keamanan di penjara Kalibaru, perbatasan Banyuwangi dan Jember karena dianggap sosok penting PKI. Setelah itu dari penjara Kali Baru dia dipindahkan ke penjara Lokawaru. Dua bulan dari penangkapan dia dieksekusi. Hidup Arif yang juga sebagai penulis lagu bernuansa politik-ideologis kiri seperti Ganefo, Lekra, Aksi Tani, Harian Rakyat, Nandur Jangung dan Lerkung lagu daerah yang ditulisnya pada zaman Jepang pun tamat dengan tragis Tempo, 2013. Terkait dengan menghilangnya lagu itu setelah pecahnya pemberontakan PKI pada 1 Oktober 1965, penyair dan penulis lirik lagu, Taufiq Ismail, kembali mengatakan âŠMemang setelah lagu Genjer-genjer yang begitu popular âmencapai puncak kepopuleran pada hari ulang tahun PKI ke 50 pada 1964, usai tragedi berdarah itu kemudian seakan menghilang atau sama sekali tak terdengar lagi di publik. RRI dan TVRI tak lagi menyiarkan lagu dan tayangan yang terkait dengan lagu tersebut. Semuanya lenyap seiring dengan semakin gencarnya pemulihan keadaan di mana banyak anggota PKI yang ditangkapi. Ismail, Tak hanya itu Taufiq mengatakan berbagai macam penafsiran kemudian diam-diam muncul di benak kesadaran masyarakat. Ada yang mengatakan lagu itu lagu yang menyuruh layak berontak, sebagai isyarat rakyat melakukan perlawanan, hingga sarana menceritakan nasib para Jendral yang dibantai dan dikubur di tempat yang tidak terhormat layaknya tumbuhan genjer dengan dimasukkan ke dalam lubang sumur tua di Kampung Lubang Buaya di Kawasan Jakarta Timur. Sejak itulah lagu itu raib pasca 1965, tiba-tiba pada tahun 1984 lagu Genjer-genjer ini muncul atau terdengar kembali di telinga publik. Peristiwa itu muncul bersamaan dengan hadirnya Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI atau hanya Pengkhianatan G 30 S PKI. Film ini menjadi sarana dokudrama propaganda Indonesia tahun 1984. Film ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C. Noer, diproduseri oleh G. Dwipayana, dan dibintangi Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa. Film pada FFI 1984 mencatat sebagai film dengan penonton terbanyak. Ini masuk akal sebab anak-anak sekolah kala itu diwajibkan menonton film tersebut Herlambang, 2013. Uniknya, kalau pada dekade sebelumnya lagu Genjer-genjer menjadi lagu hiburan dan pemberi semangat bertahan hidup rakyat jelata, lagu ini kemudian berubah identitasnya menjadi lagu bertema horor, menakutkan, kekerasan, dan darah pembantaian. Lagu ini bertransformasi layaknya menjadi lagu pengisi ilustrasi musik film yang menyangkut soal hantu dan alam gaib. Berubahnya atau bertransformasi lagu itu jelas berkat tangan dingin pihak ilustrator musik Film Pengkhianatan G30 S PKI tersebut, yakni Embie C Noer. Dalam sebuah ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 302 wawancara dia mengatakan bahwa inisiatif memasukkan lagu itu menjadi lagu ilustrasi film tersebut adalah atas inisiatifnya atau bukan permintaan dari sang sutradara, Arifin C Noer. Embie mengatakan ⊠Memasukkan lagu itu sebagai ilustrasi film G30S PKI adalah keputusan saya. Pihak sutradara, yakni Mas Arifin C Noer, tidak pernah meminta atau menyuruh menjadikan lagu Genjer-genjer sebagai music ilustrasi film ini. Dan saya pun menjadikan lagu ini sebagai musik ilustrasi, setelah melakukan survei terhadap lagu yang popular pada masa itu. Ternyata di benak publik, terutama yang mengalami era itu, lagu Genjer-genjer imajinasinya memang identik dengan PKI. Maka, ketika mendapatkan rekaman lagu itu dalam sebuah piringan hitam saya jatuh hatiâ pada lagu ini. Saya merasa lagu ini sangat serasi dan efektif untuk menjadi ilustrasi film yang tengah saya garap. Saya juga sempat melihat lagu lain yang pada era itu identik dengan lagu kelompok kiriâ, misalnya Nasakom Bersatuâ atau Gugur Bunga karya Ismail Marzuki. Tapi, saya merasa lagu itu tak tepat jadi ilustrasi film ini. Lagu Gugur Bunga bagi saya misalnya kesannya sudah terlalu umum karena lagu ini kesanya hanya bicara soal pemakaman seseorang pahlawan. Ini beda dengan lagu Genjer-genjer yang penuh semangat tapi mengisyaratkan penderitaan. Birama lagunya, mars 4/4, juga cocok pas dengan gerak potongan sekuel gambar di film. Bahkan, kemudian saya menjadi tersadar bahwa suasana yang dibawa lagu itu juga tepat ilustrasi film yang banyak adegan darah dan kekerasan. Ketika sampai pada bagian adegan itu laju irama lagu Genjer genjer tinggal saya perlambat saja untuk menimbulkan nuansa ketegangan atau mencekam. Dan ternyata itu tepat. Sebab saya paham dan sadar sebuah ilustrasi musik âdan juga lagu, sangat penting menjadi penunjang dan penguat pesan di adegan film. Film horror misalnya, bila ilustrasi musiknya tak tepat malah akan berubah menjadi sajian film komedi serta menjadi bahan lucuan yang ganjil. Noer, Embie C Noer juga mengatakan berkat film itu lagu Genjer-genjer berubah menjadi lagu rakyat yang menghibur hati menjadi lagu yang mengisyaratkan atau menceritakan adegan kekerasan. Kata Genjer, misalnya di masyarakat umum kemudian muncul menjadi pengertian dari singkatan kata gayang jendralâ atau seseorang secara sadis. Ini misalnya oleh masyarakat menghubungkannya dengan adegan di film itu ketika ada satu bagian adegan dengan teriakan dialog Darah itu merah jendral! Namun, meski setiap tanggal malam 1 Oktober pada masa setelah film itu ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 303 diproduksi dan dimuat ke publik di tahun 1984 sampai datangnya masa reformasi di tahun 1998, lagu dan film itu rutin diputar khususnya di layar TVRI, namun di ruang publik secara umum lagu Genjer-genjer tetap belum terdengar luas. Publik hanya tahu sekilas saja dan tak tahu secara lengkap isi pesan dan syair lagu tersebut. Lagu Genjer-genjer baru kemudian bisa didengarkan bebas kembali setelah hadirnya masa reformasi atau jatuhnya rezim Orde Baru. Salah satu stasiun radio yang pertama kali berinisiatif menyiarkan kembali lagu tersebut setelah datangnya era reformasi di 1998 itu adalah BBC London. Dalam salah satu bagian di siaran berita paginya, lagu itu dibahas dan diputar kembali. Lagu yang pada pertengahan 1965 sangat terkenal dan dinyanyikan oleh penyanyi legendaris Indonesia, Bing Slamet, kemudian mengudara kembali. Suara dan irama khas baritonnya dari penyanyi ini mengalun syahdu di sebuah pagi di penghujung tahun 1998. Setelah itu, kini lagu kembali bebas terdengar. Bahkan, di tayangan Youtube lagu ini bisa dilihat dan dinikmati kembali bersama lagu lain yang menjadi identitas Partai Komunis Indonesia dan gerakan kiri lainnya. Malahan kini lagu sudah dinyanyikan dan ditayangkan oleh sebuah grup music di Kamboja dengan memakai syair berbahasa Khmer. Yang menonton video ini yang diunggah sejak 18 April 2016, pun sudah mendekat 1 juta, yakni x ditonton Genjer-Genjer dalam lagu berbahasa Khmer, Uniknya, sama tujuannya dengan suasana yang hendak dibangun oleh Embie C Noer dalam film Pengkhianatan G30s PKI, lagu ini masih tetap dimainkan dengan nuansa bernada sedih dengan laju birama 4/4 lagu yang tetap lambat. Rasa-rasanya lagu ini sudah benar-benar menjadi lagu yang politik-ideologis yang bersuasana suram. 5. KESIMPULAN 1 Sebagai sebuah hasil olah kreatif ide dan budaya, lagu Genjer-genjer ternyata tidak bisa dilenyapkan. Lagu itu tetap eksis sepanjang zaman dengan berbagai variasi tafsirnya sesuai dengan zaman. 2 Genjer-genjer sebagai sebuah lagu membuktikan dengan jelas bahwa lagu dapat menjadi sarana efektif untuk menyampaikan pesan pada masyarakat secara luas hingga melintasi wilayah dan kurun berbagai masa sejarah. 3 Genjer-genjer sebagai artefak budaya dapat menjadi jejak sejarah sosial politik dan budaya peradaban manusia Indonesia dan berguna untuk dijadikan pelajaran serta pengingat bagi generasi mendatang. 4 Ajaran ideologi dan agama tidak pernah bisa dimatikan dalam situasi apa pun. Mereka ternyata sangat kenyal di dalam mengantisipasi setiap perubahan. 6. REFERENSI Aidit, D. N. 1964. Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa. Jajasan Pembaruan. Changara, H. 2016. Pengantar ilmu komunikasi. RajaGrafindo Persada. Effendy, O. U. 2018. Ilmu komunikasi. Dalam Bandung Rosdakarya. PT Remaja Rosdakarya Offset. Emzir. 2010. Metodologi Peneletian Kualitataif Analisis Data. PT Raja grafindo persada. Feith, H. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia. ISSN 2807-1190 Jurnal Perspektif â Yayasan Jaringan Kerja Pendidikan Bali 304 Florida, N. K. 2020. Jawa-Islam di Masa Kolonial Suluk. Santri, dan Pujangga Jawa. Buku Langgar Yogyakarta. Genjer-Genjer dalam lagu berbahasa Khmer. Gisca, S. 2021, Juni 6. Kenapa Lagu Genjer Genjer Dilarang? Herlambang, W. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965 Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunis Melalui Seni dan Suara. CV Margin Kiri. Ismail, T. Aktivis Manikebu Manifes Kebudayaan, sastrawan, penulis lagu, dan pelaku sejarah sekitar 1965. Ismail, T. 2015. Matine Gusti Allah, riwayat palu arit sedunia menajiskan tuhan dan agama Mahaka Media, Ed.. Republika. Mulyana, D. 2017. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT Remaja Rosdakarya. Noer, E. C. Ilustrator musik Film kolosal Pengkhianatan G 30 S PKI karya Arifin C Noer. Prisma. 1987, Mei. Kebudayaan Pop Kritik dan Pengakuan. LP3S. Ricklefs, 2013. Islamisation and Its opponents in Java Mengislamkan Jawa Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang. PT Serambi Ilmu Sejahtera. Saidi, R. 2021. No Title. Supajar, D. Filsafat Sosial Serat Sastra Gending. Suradika, A. 2000. Metode Penelitian Sosial. UMJ Press. Suradika, A., & Wicaksono, D. 2019. Metodologi Penelitian. UM Jakarta Press. Tempo. 2013. WM, A. H. Sastrawan, pelaku sejarah 1965, dan Guru Besar Filsafat Kebudayaan Islam. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this ilmu komunikasi. RajaGrafindo PersadaH ChangaraChangara, H. 2016. Pengantar ilmu komunikasi. RajaGrafindo komunikasi. Dalam Bandung Rosdakarya. PT Remaja Rosdakarya OffsetO U EffendyEffendy, O. U. 2018. Ilmu komunikasi. Dalam Bandung Rosdakarya. PT Remaja Rosdakarya musik Film kolosal Pengkhianatan G 30 S PKI karya Arifin C NoerE C NoerNoer, E. C. Ilustrator musik Film kolosal Pengkhianatan G 30 S PKI karya Arifin C pelaku sejarah 1965, dan Guru Besar Filsafat Kebudayaan IslamA H WmWM, A. H. Sastrawan, pelaku sejarah 1965, dan Guru Besar Filsafat Kebudayaan Gusti Allah, riwayat palu arit sedunia menajiskan tuhan dan agama Mahaka MediaT IsmailIsmail, T. 2015. Matine Gusti Allah, riwayat palu arit sedunia menajiskan tuhan dan agama Mahaka Media, Ed.. Umum 1955 di IndonesiaH FeithFeith, H. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Kepustakaan Populer Tani Mengganjang Setan-Setan DesaD N AiditAidit, D. N. 1964. Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa. Jajasan Peneletian Kualitataif Analisis Data. PT Raja grafindo persadaEmzirEmzir. 2010. Metodologi Peneletian Kualitataif Analisis Data. PT Raja grafindo Lagu Genjer Genjer Dilarang?S Gisca
Laguyang hanya melukiskan keadaan sehari-hari rakyat biasa yang hidup sederhana dan menikmati tanaman berupa genjer. Tetapi toh lagu itu ditakuti dan oleh karenanya juga termasuk hasil karya yang terlarang. Kenapa Orde Baru ketakutan ? «Orde Baru adalah orde yang sakit jiwa», kata Hersri kemudian dalam tulisannya di majalah Kreasi nomor 3, 2001.a Selamatan kehamilan terdiri dari tiga tahapan, yaitu Nyelameti Telu, Tingkeban, dan Nyelameti Procot. Ruang yang digunakan adalah ruang mikro, yaitu di dalamï»żSOLO - Lagu Genjer-Genjer diciptakan oleh seorang seniman asal Banyuwangi, Muhammad Arief, pada dekade dari artikel jurnal Mitos Genjer-Genjer Politik Makna dalam Lagu 2014, syair lagu tersebut dimaksudkan sebagai sindiran atas masa pendudukan Jepang ke Indonesia yang mana membuat kondisi rakyat semakin sengsara dibanding sebelumnya. Saking menderitanya, rakyat kecil bahkan hanya bisa makan dengan lauk tanpa disangka, Genjer-Genjer lalu menjadi begitu populer saat dinyanyikan ulang oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani pada tahun 1962. Banyak musisi bahkan memainkan lagu ini di istana presiden pada era kepemimpinan kondisi tersebut, Partai Komunis Indonesia lantas "mendompleng" kepopuleran Genjer-Genjer untuk berkampanye. Lagu yang menggambarkan penderitaan masyarakat desa itu dibawanya ke kalangan akar rumput. Tak hanya itu, PKI bahkan turut mengupayakan agar Genjer-Genjer diperdengarkan secara intensif melalui siaran RRI dan TVRI. Lalu, artis-artis ternama pun dirangkul guna menggaet penggemar masyarakat pun mulai mengasosiasikan lagu ini sebagai "lagu PKI".Baca Juga"Genjer-genjer" Menyakitkan TNI Kata Wapres JKTragedi G30S/PKI Beban Sejarah, Penyelesaian tak MudahOleh karena itu pula, setelah peristiwa G30S, lagu ini seketika menjadi tabu diperdengarkan. Orang-orang yang menyanyikannya bahkan akan ditangkap oleh aparat keamanan dan dicap sebagai seorang Baru sendiri melarang lagu tersebut untuk diperdengarkan dan dinyanyikan lantaran dianggap mengandung isyarat rencana pemberontakan pagi buta pada 1 Oktober 1965. Dikutip dari Tempo, sang pencipta lagunya bahkan ditangkap pada Oktober 1965 dan tidak pernah kembali. .